Pengenaan tarif pajak beragam sesuai jenis transaksi. Pemerintah berencana menargetkan pajak startup dengan menyusun regulasi perpajakan baru. Hal itu, dikarenakan ekosistem bisnis digital yang semakin berkembang.
Pendapatan dari startup memberikan kontribusi signifikan bagi kas negara. Startup atau yang lebih dikenal dengan bisnis rintisan membutuhkan perlakuan pajak khusus untuk dapat tumbuh.
Pajak idealnya dikenakan setelah startup beroperasi selama lima tahun atau setelah mulai membukukan pendapatan. Kondisi dan situasi perusahaan juga menjadi pertimbangan dalam pengaturan pajak yang dikenakan.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memastikan bahwa aturan pajak startup sesuai dengan tujuan utama pajak, yaitu mendorong perkembangan perusahaan di era digital ini. DJP memberikan insentif dengan tarif pajak yang lebih rendah untuk startup.
Tidak hanya startup, usaha kecil juga mendapatkan perlakuan pajak serupa. Oleh karena itu, para pengusaha bisa berkonsultasi masalah perpajakan ini pada konsultan pajak cibitung. Dengan begitu, dapat meminimalisir masalah pajak pada bisnis Anda.
Kewajiban Pajak Untuk Startup
Dengan berkonsultasi pada konsultan pajak cibitung, para pengusaha startup akan mengetahui beberapa kewajiban yang perlu ditaati. Berikut merupakan kewajiban pajak bagi usaha startup, yaitu sebagai berikut :
1. Daftar NPWP
Peraturan pajak startup baru dimulai dengan mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI No. 147/PMK.03/2017, NPWP harus didaftarkan dalam waktu 1 bulan setelah pendirian atau 1 bulan setelah memulai kegiatan usaha di lokasi baru.
2. Membayar Pajak Jika Bruto Melebihi 4,8 Milyar
Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak jika peredaran brutonya melebihi Rp 4,8 miliar. Hal itu sesuai dengan regulasi pajak untuk bisnis startup pada Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 197/PMK.03/2013 tentang Batasan Pengusaha Kecil PPN.
Startup dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar mendapatkan kemudahan berupa pembebasan kewajiban PPN bagi startup. Namun, mereka tetap harus membayar PPh sebesar 0,5 persen dari penghasilan kotor.
Namun, perusahaan startup dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak meskipun belum mencapai batas penghasilan bruto tersebut.
3. Setor Dan Lapor Surat Pemberitahuan (SPT) Pph Tahunan Badan
Jenis pajak untuk startup adalah PPh Tahunan Badan. Perusahaan wajib membayar dan melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh Badan.
Pembayaran pajak penghasilan startup harus dilakukan sebelum SPT diserahkan, dengan batas pelaporan SPT paling lambat 4 bulan setelah akhir tahun pajak. Keterlambatan pelaporan dikenakan denda sebesar Rp 1.000.000.
4. Setor Dan Lapor SPT Masa
Selain melaporkan SPT PPN, perusahaan startup juga harus melakukan penyetoran dan pelaporan SPT Masa lainnya. Termasuk juga PPh 21/26 untuk pemotongan pajak penghasilan atas gaji karyawan.
PPh 22 jika ditunjuk sebagai pemungut pajak atas transaksi tertentu seperti barang mewah atau impor, serta PPh 23/26 yang mencakup pemotongan pajak atas berbagai jenis penghasilan seperti sewa dan jasa.
Selain itu, mereka juga perlu melaporkan PPh Pasal 4 ayat 2 untuk pajak final atas penghasilan tertentu.
5. Menggunakan Rekening Bisnis
Banyak orang menggunakan rekening pribadi untuk kegiatan usaha dengan tujuan menghindari pajak.
Namun, tindakan ini dapat menimbulkan masalah jika terdeteksi oleh petugas pajak. Dimana, yang kemudian akan meminta bank memeriksa transaksi dan tetap mengenakan pajak.
Menghindari pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk mengelak dari kewajiban pajak bukanlah solusi yang efektif. NPWP tetap diperlukan, terutama saat membeli aset bergerak atau tidak bergerak.
Bagi Anda para pengusaha startup pemula bisa berkonsultasi pajak startup melalui https://konsultanpajakbersama.com/. Dengan begitu, tidak akan ada masalah tentang pembayaran pajak di kemudian hari.