Mengapa Teknologi Harus Hadir di Sistem Pertanahan Indonesia

Irwin Andriyanto

Sektor pertanahan merupakan tulang punggung pembangunan nasional. Tanah adalah sumber daya strategis yang menyangkut hajat hidup banyak orang. Namun, hingga kini, sistem pertanahan di Indonesia masih dibayangi persoalan struktural, mulai dari sengketa lahan hingga keterlambatan proses legalisasi. Teknologi hadir sebagai solusi mendesak untuk membenahi masalah-masalah ini secara sistematis dan transparan.

Berdasarkan data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) tahun 2023, terdapat 126 juta bidang tanah di Indonesia, tetapi baru sekitar 101 juta bidang yang terdaftar, dan hanya 84 juta yang telah bersertifikat. Artinya, sekitar 33% bidang tanah belum terdaftar secara resmi. Kekosongan legalitas ini membuka ruang besar untuk konflik agraria, manipulasi data, dan praktik mafia tanah (Sumber: pastibpn.id).

Di sisi lain, dunia telah bergerak cepat dengan teknologi digital, termasuk di sektor properti dan tata ruang. Negara-negara seperti Estonia, Georgia, dan India telah menunjukkan bahwa transformasi digital pada sistem pertanahan mampu menekan korupsi, mempercepat pelayanan, serta meningkatkan kepastian hukum. Sudah saatnya Indonesia mengambil langkah serupa.

Masalah Kronis dalam Sistem Pertanahan Konvensional

Sistem manual yang masih dominan dalam birokrasi pertanahan menyebabkan berbagai masalah struktural:

  • Tumpang tindih sertifikat tanah: Satu bidang tanah diklaim lebih dari satu pihak karena ketidaksesuaian data spasial.
  • Manipulasi dan pemalsuan dokumen: Sistem yang tidak terdigitalisasi memudahkan oknum untuk mengubah dokumen kepemilikan.
  • Lambatnya pelayanan: Pengurusan sertifikat tanah bisa memakan waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.
  • Minim transparansi: Masyarakat kesulitan mengakses informasi status tanah secara mandiri.
  • Ketergantungan pada dokumen fisik: Dokumen rentan rusak, hilang, atau disengaja disembunyikan.

Laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2022 mencatat sektor pertanahan sebagai salah satu dari lima sektor paling rawan korupsi di Indonesia (Sumber: KPK RI). Situasi ini memperkuat urgensi untuk melakukan digitalisasi.

Teknologi sebagai Solusi Strategis

Mengapa Teknologi Harus Hadir di Sistem Pertanahan Indonesia
Mengapa Teknologi Harus Hadir di Sistem Pertanahan Indonesia

Digitalisasi sistem pertanahan bukan hanya tentang konversi data analog ke digital, tapi tentang reformasi menyeluruh. Teknologi mampu menjawab tantangan akurasi, efisiensi, serta keterbukaan informasi secara simultan.

1. Digitalisasi Peta Tanah dan Sertifikat Elektronik

Dengan teknologi Geographic Information System (GIS), bidang tanah dapat dipetakan secara akurat dan berbasis koordinat geospasial. Data ini menjadi fondasi untuk menghindari tumpang tindih lahan. Pemerintah Indonesia sudah memulai hal ini melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang menyasar digitalisasi peta bidang tanah.

Pada saat bersamaan, Kementerian ATR/BPN telah menerbitkan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No. 3 Tahun 2023 tentang Penerbitan Sertifikat Tanah Elektronik, yang merupakan tonggak penting menuju transformasi digital.

2. Blockchain untuk Validasi Data Tanah

Teknologi blockchain dapat menciptakan sistem pencatatan kepemilikan tanah yang terdistribusi dan tidak dapat diubah (immutable). Setiap perubahan atau transaksi akan terekam dalam blok yang saling terhubung secara kronologis dan transparan.

Negara Georgia telah menggunakan blockchain bekerja sama dengan Bitfury sejak 2016 untuk mencatat transaksi pertanahan. Hasilnya, mereka berhasil menekan birokrasi, mempercepat proses sertifikasi, dan menekan praktik korupsi.

3. Sistem Informasi Pertanahan Terintegrasi

Indonesia membutuhkan National Land Information System (NLIS) yang mampu mengintegrasikan data kepemilikan, zonasi, perpajakan, hingga perencanaan tata ruang. Sistem ini harus bersifat lintas kementerian dan dapat diakses oleh masyarakat secara terbatas melalui portal daring.

Sistem seperti ini telah digunakan di Belanda (Kadaster) dan Singapura (SLA – Singapore Land Authority), di mana seluruh informasi tanah dapat diakses oleh publik maupun instansi lain untuk mempercepat layanan.

4. Big Data dan Kecerdasan Buatan (AI)

Penggunaan big data dan AI dapat membantu pemerintah dalam:

  • Mendeteksi wilayah rawan sengketa
  • Menganalisis pola konflik agraria
  • Menyusun peta risiko tata ruang dan lingkungan
  • Merumuskan kebijakan berdasarkan data prediktif

Dengan teknologi ini, pemerintah bisa bergerak lebih proaktif dalam mencegah konflik, bukan hanya menyelesaikannya saat terjadi.

5. Layanan Publik Digital

Kementerian ATR/BPN sudah merintis aplikasi seperti Sentuh Tanahku dan Loketku yang memungkinkan masyarakat mengakses informasi status tanah, lokasi kantor pertanahan, serta layanan online lainnya. Meski masih dalam tahap pengembangan, infrastruktur ini sangat penting untuk mempermudah akses layanan publik.

Namun, untuk menjangkau seluruh Indonesia, aplikasi semacam ini harus dikembangkan dengan antarmuka yang ramah pengguna, ringan, serta tersedia dalam berbagai bahasa daerah.

Dampak Positif dari Transformasi Digital Pertanahan

Implementasi teknologi yang menyeluruh akan berdampak luas bagi negara, masyarakat, dan dunia usaha:

  • Transparansi dan akuntabilitas meningkat: Data bisa dilacak dan diaudit dengan jelas.
  • Penyelesaian konflik lebih cepat: Validasi digital mempercepat penyelesaian sengketa.
  • Meningkatkan nilai ekonomi tanah: Kepastian hukum mendorong investasi properti.
  • Efisiensi anggaran negara: Proses digital mengurangi beban biaya operasional dan administrasi.
  • Meningkatkan kepercayaan publik: Layanan berbasis teknologi membangun kredibilitas lembaga.

Menurut laporan Bank Dunia dalam Land Governance Assessment Framework, negara yang memiliki sistem pertanahan digital dan terbuka cenderung memiliki produktivitas ekonomi dan indeks kemudahan berusaha (Ease of Doing Business) yang lebih tinggi.

Tantangan Implementasi dan Strategi Solusi

Meskipun menjanjikan, adopsi teknologi pada sistem pertanahan menghadapi sejumlah tantangan:

  • Keterbatasan infrastruktur digital, terutama di wilayah terpencil.
  • Kesenjangan kapasitas SDM, baik di lingkungan BPN maupun masyarakat.
  • Ketergantungan pada sistem lama yang telah menguntungkan sebagian pihak.
  • Masalah interoperabilitas data antar lembaga.
  • Kekhawatiran soal keamanan dan privasi data.

Untuk mengatasi hambatan tersebut, dibutuhkan strategi lintas sektor:

  • Investasi pemerintah dalam pembangunan infrastruktur digital berbasis wilayah.
  • Pelatihan dan peningkatan kapasitas SDM pertanahan secara nasional.
  • Pembentukan regulasi pelindung data yang kuat dan inklusif.
  • Mendorong kolaborasi dengan sektor swasta dan startup teknologi.

Pemerintah juga perlu memastikan keberlanjutan kebijakan ini lintas periode pemerintahan agar tidak terputus oleh perubahan politik.

Jalan Panjang Menuju Sistem Pertanahan yang Modern

Sudah saatnya Indonesia meninggalkan sistem pertanahan yang lamban, tertutup, dan rawan korupsi. Teknologi adalah pintu menuju sistem yang lebih terbuka, efisien, dan adil. Dengan mengadopsi pendekatan digital berbasis data, masyarakat dapat menikmati hak atas tanah yang sah, cepat, dan transparan.

Transformasi ini bukan sekadar reformasi administratif, tetapi bentuk keberpihakan negara kepada rakyat untuk menjamin keadilan agraria. Jika Anda menginginkan masa depan pertanahan Indonesia yang bersih dan kuat secara hukum, maka teknologi adalah alat utama yang tidak boleh diabaikan.

Baca Juga:

Bagikan:

Irwin Andriyanto

Seorang blogger Kabupaten Tangerang & SEO Consultant, Lulusan Teknik Informatika (S.Kom, Universitas Serang Raya) & Magister Manajemen Pemasaran (M.M, Universitas Esa Unggul). Tertarik dengan dunia digital marketing, khususnya SEO.

Tags

Tinggalkan komentar